KAJIAN EPISTEMOLOGI SERTA IMPLIKASINYA DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

Berpikir sebagai proses perolehan pengetahuan, serta realitas dan kebenaran sebuah pengetahuan dikaji dalam epistemologi. Epistemologi (pengetahuan) diperoleh manusia melalui berpikir, menalar dan pengalaman panca indera, wahyu dari Tuhan, atau melalui intuisi yang kebenarannya dapat diuji berdasarkan kesesuaian, keselarasan, dan atau kebermanfaatan sehingga dapat menghasilkan pengetahuan dan ilmu yang dapat dipetanggungjawabkan kebenarannya.

KAJIAN EPISTEMOLOGI SERTA IMPLIKASINYA DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

 KAJIAN EPISTEMOLOGI SERTA IMPLIKASINYA DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING 

Agista Anggareni, S. Pd

SMA Negeri 3 Banjar

2022

 

Abstrak

Berpikir sebagai proses perolehan pengetahuan, serta realitas dan kebenaran sebuah pengetahuan dikaji dalam epistemologi. Epistemologi (pengetahuan) diperoleh manusia melalui berpikir, menalar dan pengalaman panca indera, wahyu dari Tuhan, atau melalui intuisi yang kebenarannya dapat diuji berdasarkan kesesuaian, keselarasan, dan atau kebermanfaatan sehingga dapat menghasilkan pengetahuan dan ilmu yang dapat dipetanggungjawabkan kebenarannya. Adapun yang dijelaskan dalam tulisan ini meliputi pengertian epistemologi, pengetahuan dan cara memperoleh pengetahuan, kriteria kebenaran pengetahuan dan epistemologi dalam beberapa aliran filsafat. Bimbingan dan konseling dalam kajian epistemologi menekankan bahwa pengetahuan melalui proses bepikir menciptakan teori keilmuan bimbingan dan konseling dan praktik bimbingan dan konseling yang akan membantu dalam pemberian layanan dengan memahami situasi konseling dan pengambilan keputusan yang tepat sesuai hakikat manusia agar bisa mencapai tugas-tugas kehidupannya, memiliki pemahaman, wawasan tentang dirinya dan lingkungannya untuk menentukan arah kehidupannya.

 

 

Kata kunci: pengetahuan, kebenaran, bimbingan dan konseling

 

  1. PENDAHULUAN

Berpikir adalah kegiatan berfilsafat untuk memperdalam sebuah ilmu. Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh suatu kebenaran sehingga memerlukan kegiatan berpikir yang mendalam. Oleh karena itu, untuk membedakan kegiatan berpikir filsafat dengan berpikir biasa ada pada hakikat kebenaran yang dicapai. Sedangkan filsafat ilmu adalah cabang dari filsafat itu sendiri. Melalui filsafat ilmu, konsep dan teori sebuah ilmu dianalisis dan di kategorikan.

Manusia adalah makhluk Allah yang memiliki unsur berpikir sebagai hakekat manusia dan karena berpikirlah seseorang jadi manusia. Hakikat manusia sebagai makhluk yang rasional menekankan bahwa kemampuan berpikir manusia sebagai kekuatan dalam mengembangkan dirinya, namun memiliki keterbatasan. Manusia dihadapkan pada kenyataan yang memungkinkan manusia ragu akan apa yang dilihat pancaindera dan menyadari keterbatasannya. Karena keterbatasannya manusia dengan akalnya berpikir, mencari tahu, dan mencari kebenaran dari realitas yang ada (Knight, G.R., 2007). Rasa ingin tahu tersebut menghasilkan ilmu pengetahuan sebagai upaya manusia untuk menyikapi realitas agar memungkinkan manusia berkomunikasi untuk meningkatkan harkat martabat kemanusiaannya.

Kajian Filsafat mencakup tiga objek kajian yaitu epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Pandangan tentang manusia bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya inderawi (merasakan). Teori tabula rasa menjelaskan bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, pengalaman yang mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan dari pengalamannya. Filsafat memberikan pandangan tentang kompleksitas untuk menguji kesahihan pemikiran serta gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Tafsir,A., 2013, hlm. 24).

Epistemologi yang mengkaji sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan menjadi salah satu kajian dalam filsafat yang penting dalam terciptanya suatu disiplin ilmu. Setiap disiplin ilmu muncul melalui proses berfikir secara filosofis sehingga filsafat sebagai landasan keilmuan melalui cara dan sumber memperoleh pengetahuan dan kebenaran yang jelas. Dunia sebagai proses becoming melahirkan berbagai pemikiran filosofis untuk menjawab berbagai problematika yang kompleks dalam kajian ini akan dikaitkan dengan pendidikan serta bimbingan dan konseling. Epistemologi akan menjadi pemikiran dalam proses perolehan pengetahuan bagi peserta didik, serta keunggulan dan keterbatasan dari pengetahuan sebagai sebuah realitas kehidupan yang tidak terpisahkan dari Tuhan yme (Muhmdayeli, 2013). Oleh karena itu, tujuan dari kajian epistemologi dalam konteks keilmuan bimbingan dan konseling adalah untuk mengkaji mengenai cara dan sumber pengetahuan serta kebenaran teori bimbingan dan konseling, metode yang digunakan dan kebenaran metode yang digunakan dalam praktik bimbingan dan konseling.

 

Ruang Lingkup Kajian Epistemologi

Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Kajian ini memaparkan beberapa hal penting terkait epistemologi: 1) pengertian epistemologi; 2) pengetahuan dan sumber pengetahuan; 3) kriteria kebenaran pengetahuan; dan 4) epistemologi dalam beberapa aliran filsafat.

 

  1. HAKIKAT EPISTEMOLOGI
  2. Pengertian Epistemologi

Berawal dari pertanyaan “apakah realitas itu dapat diketahui?”, epistemologi digunakan untuk menjamin sebuah keputusan dapat dikatakan benar sehingga manusia bisa puas akan temuannya dan tidak ragu atas apa yang diketahuinya. Oleh karena itu, epistemologi membahas tentang hakikat dan keseluruhan ilmu pengetahuan serta seluruh realitasnya, meliputi kebenaran dan cara mengetahui kebenaran, membahas hakikat dan struktur pengetahuan yakni apa itu pengetahuan, sumber dan cara memperoleh pengetahuan, kegunaan pengetahuan, nilai pengetahuan, cara membentuk pengetahuan yang valid, apa itu kebenaran, kemungkinan manusia memperoleh kebenaran, apa yang dapat diketahui oleh manusia, dan keterbatasan pengetahuan manusia (Muhmidayeli, 2013, hlm. 12). Epistemologi sebagai kajian filsafat tentang pengetahuan diorientasikan sebagai pengetahuan tentang realitas, sebagai sumber realitas, pengetahuan, dan kebenaran.

Epistemologi dipakai pertama kail oleh J.F. Feriere untuk membedakan dua cabang filsafat yaitu epistemologi dan ontologi. Secara etimologi, epistemologi berasal dari perkataan Yunani yaitu episteme yaitu pengetahuan dan logos yang artinya ilmu yang sistematis. Epistemologi dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan yang sistematis tentang pengetahuan. Knight, G.R (2007, hlm. 30) mengungkapkan bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengaji hakikat, sumber, kebenaran pengetahuan. Syarifudin, T. & Kurniasih (2014, hlm. 22) mengemukakan bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari atau membahas tentang hakikat pengetahuan meliputi sumber-sumber pengetahuan, cara memperoleh pengetahuan, dan kriteria kebenaran pengetahuan.

Epistemologi sebagai teori pengetahuan yang benar merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian dan dasar-dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pengetahuan yang dimiliki (Bakhtiar, 2010, hlm. 148). Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan (Tafsir,A., 2013, hlm. 23). Epistemologi merupakan manusia secara kodrati memiliki potensi untuk berpengetahuan, mengolahnya dan mengembangkannya (Sadulloh,U., 2017, hlm. 186). Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarkan mengenai sumber-sumber, karakteristik, sifat dan kebenaran pengetahuan. (Susanto,A., 2016, hlm. 135).

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, hampir terdapat kesamaan substansi dalam membahas definisi epistemologi sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah bagian ilmu filsafat yang membicarakan atau mengkaji tentang hakikat pengetahuan, sumber pengetahuan, cara memperoleh pengetahuan, metode dan cara memperoleh kebenaran pengetahuan.

 

  1. Pengetahuan dan Sumber Pengetahuan

Kajian filsafat bermula dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul mengenai pengetahuan, realitas, dan kebenaran. Pertanyaan yang muncul adalah “apakah pengetahuan itu subjektif atau objektif?” jawabannya adalah objektivitas sebuah pengetahuan bisa dilihat dari 3 hal, yakni 1) sesuatu yang berasal dari luar dan masuk pada akal pikiran kita, pandangan ini sering digunakan oleh fisikawan dan matematikawan, 2) subjek yang mengetahui sesuatu di dunia ini sehingga bertanggung jawab atas struktur pengetahuan, sering dianut oleh ilmuan-ilmuan behavioral dan sains sosial, dan 3) kita berada semata-mata sebagai subjek yang merancang kebenaran daripada hanya sebagai partisipasi.

John Locke (dalam Muhmidayeli, 2013) mengungkapkan bahwa pengetahuan adalah bukti nyata realitas manusia dalam mengisi kehidupannya dan mestinya mendapat tempat teratas dalam keseluruhan problematika filsafat. Pengetahuan pada hakikatnya ada hubungan antar subjek dan objek yang benar-benar dalam satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan. Epistemologi membahas mengenai sumber-sumber pengetahuan. Berikut ini sumber-sumber pengetahuan diantaranya:

 

  1. Empiris

Tokoh besar empirisme adalah Locke, Hume dan Spencer. Paham ini memandang bahwa orang menjelaskan kehidupan dengan cara melihat, mendengar, membau, meraba, dan mengecap akan membentuk konsep mengenai sekitar kita. Pengetahuan diperoleh sesuai observasi fakta (look and see). Pengetahuan berkaitan dengan pengalaman manusia, hal yang diamati manusia sebagai dasar pengetahuan.

Hal yang paling mendasar dalam penerimaan dan pengakuan mengenai pandangan ini adalah panca indra tidak menjelaskan secara lengkap dan tidak dapat dipercaya. Indera pada suatu waktu dapat menipu kita, karena meskipun indera menangkap dalam persepi kita maka kita berupaya mengingkari apa yang baru kita lihat. Manusia cenderung menerima apa yang diyakini dalam diri kita sebagai kebenaran. Apa yang terkonsep dalam diri kita selalu mendahului penerimaan kebenaran dan kadang lebih dominan mempengaruhi indra dalam pengambilan keputusan. Pengetahuan ini bisa ditegakkan tergantung pada kepercayaan dan keterandalan daya indra manusia.

Paradigma empiris memandang pengetahuan manusia terbentuk dari persepsi mengenai sesuatu yang dilihatnya. Hipotesis ini berawal dari observasi dan eksperimen untuk memperoleh hasil yang memuaskan mengenai suatu fenomena namun hasil tersebut sesugguhnya bukan merupakan hasil yang absolut atau pasti. Artinya tidak dapat memastikan bahwa fenomena saat ini akan sama dengan masa yang akan datang dalam cara tertentu sekalipun diberikan perilaku yang sama.

Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal (Tafsir,A., 2013, hlm.173). Untuk memahami isi doktrin perlu di pahami lebih dulu dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori makna dan teori pengetahuan. Teori makna dalam aliran empirisme dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul ide atau konsep. Prinsip dasar dalam empirisme adalah tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain di dahului oleh pengalaman (Tafsir,A. 2013, hlm.174).

Locke menjelaskan (dalam Tafsir,A. 2013, hlm. 174) bahwa jiwa orang dilahirkan dengan keadaan nya yang kosong, laksana kertas putih (tabula rasa), yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap ide yang di peroleh datang melalui pengalaman inderawi, atau pengetahuan itu datang dari observasi terhadap jiwa kita sendiri (inner sense) atau penginderaan dalam. Empirisme memandang bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman nya, pengalaman yang di maksud adalah pengalaman inderawi, perumpamaan (manusia tahu garam itu asin karena ia mencicipinya) (Susanto,A., 2016, hlm. 141).

  1. Wahyu

Ditinjau dari hakikat usahanya memperoleh pengetahuan, terdapat dua jenis pengetahuan yakni pengetahuan sebagai hasil usaha aktif manusia menemukan kebenaran melalui penalaran atau intuiasi, serta pengetahuan yang langsung diberikan oleh Tuhan melaui Nabi dan Rasul. Pengetahuan melalui wahyu memiliki kebenaran sejati/absolut dan selalu benar tanpa terikat tempat dan waktu. Pengetahuan yang berasal dari wahyu berkaitan dengan agama dan komunikasi dengan Tuhan. Menurut pandangan ini kelebihannya adalah sumber pengetahuan berasal dari yang Maha tahu, tanpa campur tangan. Namun kekurangannya bergantung pada interpretasi dari manusia yang menerima wahyu, harus diterima dan diyakini dengan iman, serta tidak dapat dibuktikan secara empiris. Pengetahuan yang dibentuk atas apa yang difirmankan Tuhan dengan segala kuasaNya. Tuhan memberikan inspirasi untuk memberitahu dan mengajarkan kebenaran pada manusia agar keputusan dan perilaku manusia didasari kebenaran yang bersumber dari Tuhan.

Manusia dalam menemukan kebenaran pengetahuan bersifat pasif hanya menerima, kemudian dipercaya atau tidak dipercaya, berdasarkan keyakinannya. Tuhan sebagai pemberi wahyu dan intuisi adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu maka kita mendapatkan pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa yang diwahyukan adalah benar, demikian juga dengan intuisi, dimana kita juga percaya bahwa intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berpikir intuitif tidak mempunyai logika atau pola berpikir (Suryasumantri,J.S., 1984, hlm. 44).

 

  1. Rasional

Tiga tokoh besar yang membicarakan rasionalisme yaitu Descartes, Spinoza, dan Liebniz. Pandangan ini mengungkapkan bahwa penalaran, pemikiran, dan logika merupakan faktor utama dari pengetahuan (rasionalisme), akal (reason) sebagai alat terpenting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa melalui akal, manusia dapat memperoleh pengetahuan (Susanto,A., 2016, hlm. 141). Paham ini memandang bahwa indra tidak dapat memberikan keputusan secara valid sehingga indera hanya sebagai bahan mentah pengetahuan dan harus disusun oleh akal pikir dalam suatu hal yang bermakna.

Rasionalisme ada dua macam, yakni rasionalisme dalam bidang agama dan bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme adalah lawan autoritas biasanya digunakan untuk mengkritk ajaran agama. Sedangkan dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme yang berguna sebagai teori pengetahuan (Tafsir,A., 2013, hlm. 25).

Rasionalisme adalah akal (reason) dan akal adalah dasar kepastian pengetahuan, pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui berbagai kebenaran dan mampu sampai pada pengetahuan yang tak terbantahkan tanpa bergantung pada indra dengan memanfaatkan logika. Pengetahuan yang diperoleh melalui latihan akal budi dalam mencerna realitas yang ada dan hal yang mungkin ada melalui atau tanpa observasi terhadap keadaan aktual. Pengetahuan ini menerima prinsip dasar logika yang mana jika terjadi kontradiksi antara dua hal maka keduanya tidak benar. Validitas pengetahuan rasional bersifat universal karena menginterpretasikan realitas secara menyeluruh sebagai proses penelusuran pengetahuan dengan cara berfikir kritis dan reflektif. Pengetahuan ini bersifat abstrak dan formal berkaitan dengan hubungan yang logis impersonal, emosional dan keadaan aktual. Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang membuat hubungan realitas teoritik secara menyeluruh dan terpadu berdasarkan logika sehingga kebenarannya berupa hipotesis.

 

  1. Otoritas

Pengetahuan otoritas merupakan pengetahuan berdasarkan kebenaran dari para ahli (Knight, G.R., 2007, hlm.37). Pengetahuan dianggap baik dan benar bukan karena kita telah membuktikannya sebagai suatu yang benar tetapi memalui bukti-bukti yang benar dari seorang ahli. Kita mempercayai tanpa keraguan bahwa apa yang kita dapatkan adalah benar karena dikatakan oleh orang yang memiliki otoritas dan kita menerima begitu saja tanpa perlu mengadakan lagi penyelidikan ilmiah. Pengetahuan otoritatif tidak menunjukkan hakikat tentang sesuatu tetapi hanya pengetahuan tentang sesuatu sebagai bentuk pengetahuan yang saya terima dan saya pahami dari hasil ilmuan yang berkompeten dalam bidangnya (Muhmidayeli, 2013, hlm.88). Pandangan ini akan mengalami kemandegan apabila tidak dapat menerima pendapat apapun jika tidak membuktikan lewat pengalaman. Kelebihannya pandangan ini dapat meningkatkan kemajuan sosial dan keilmuan (Knight, G.R., 2007, hlm.37).

 

  1. Intuisi

Henri Bergson (1859-1941) adalah tokoh aliran ini yang menganggap tidak hanya indera yang terbatas, tetapi akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah sehingga pengetahuan tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas, akal hanya dapat memahami suatu objek bila mengkonsentrasikan dirinya pada objek itu, jadi manusia tidak mengetahui keseluruhan (unique), tidak juga dapat memahami sifat-sifat yang tetap pada objek. Akal hanya mampu memahami bagian-bagian dari objek, kemudian bagian- bagian itu digabungkan oleh akal. Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Kemampuan ini mirip dengan instinct (naluri), tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha untuk memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, dan unique. Intuisi menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap. Ada kesamaan pemahaman mengenai intuisionisme dengan iluminasionisme, aliran ini berkembang di kalangan tokoh agam, di dalam islam di sebut teori kasyf (orang yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui hal-hal gaib baik tentang dirinya maupun diluar dirinya, yang telah terjadi atau yang akan terjadi), teori ini menyatakan bahwa manusia, yang hatinya telah bersih. Telah siap, sanggup menerima pengetahuan dari tuhan. (Tafsir,A., 2013, hlm. 27).

Intuisionisme memandang bahwa perolehan pengetahuan bukan dari hasil penalaran maupun pengalaman indera. Intuisi memperoleh secara langsung pengetahuan disertai kuatnya keyakinan sehingga menemukan apa yang sedang dicari. Intuisi sebagai pengetahuan sekuler dan agama. Kelemahannya intuisi bila tidak dikontrol dengan pengetahuan lainnya akan mudah salah arah dan menuju arah yang absurd. Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan tentang kebenaran dalam diri manusia yang paling dalam dan selalu melibatkan integritas akal dan hati. Pengetahun berasal dari dirinya sendiri suatu peristiwa dengan tiba-tiba memunculkan ide atau kesimpulan melalui proses ketidaksadaran individu yang panjang. Peristiwa tersebut muncul dari berbagai aktivitas sehari-hari yang sudah terjiwai dalam diri secara tidak sadar menangkap berbagai realitas. Pengetahuan ini berhubungan dengan orang yang mampu berimajinasi terhadap realitas dan segala peristiwa yang dilalui kemudian menimbulkan keyakinan mendalam akan sesuatu.

Ada pengetahuan intuitif dan perbuatan intuitif. Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang diajukan dan diterima berdasarkan kekuatan imajinasi dari orang yang mengajukan. Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang berasal dari pengalaman pribadi dan juga hanya dirasakan oleh yang mengalami, tidak berdasarkan pada analisis rasional, empiris, tetapi berdasarkan pada bagian yang terdalam diri manusia (hati nurani). Menurut pandangan ini keterbatasan indra hanya mampu melihat hal lahiriah atau baru pada sampai kulit pengetahuan belum menyentuh hal yang sesungguhnya. Pengetahuan harus melihat keseluruhan realitas yang saling berhubungan. Hanya ilham yang benar mengenai realitas dan dengan ilham seseorang mampu melihat realita secara benar.

Kesimpulannya adalah tidak ada satupun sumber pengetahuan yang mampu memberikan manusia pengetahuan, tetapi pengetahuan diperoleh dari hubungan saling melengkapi. Walaupun memegang satu sumber pengetahuan yang diyakini hal itu dapat jadikan sebagai sumber pijakan dalam menilai untuk memperoleh pengetahuan lain.

 

  1. Kriteria Kebenaran Pengetahuan

Berpikir merupakan suatu kegitan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang di sebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Maka dari itu, kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak memiliki kesamaan kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran ilmiah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi.

Pertanyaan yang muncul terkait kebenaran pengetahuan adalah “kebenaran relatif atau absolut?”, “apakah semua kebenaran ada perubahan?”, dan “apakah kebenaran saat ini bisa menjadi salah nanti?”. Realitas itu bisa diketahui, harus menentukan darimana sumber realitas tersebut diketahui, dan memiliki konsep atau cara memutuskan kebenaran dari pengetahuan itu.

Pengembangan pengetahuan selalu diarahkan untuk mencapai kebenaran. Namun, kebenaran sering dipertemukan dengan kekeliruan sehingga kebenaran bergantung pada teknik dan sistem analisis suatu objek kajian pengetahuan. Kebenaran epistemologi adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Dalam pembahasan kebenaran epistemologis terdapat teori yang menjelaskan kebenaran secara pengukuran kebenaran (Bakhtiar,A., 2016, hlm. 111)

 

  1. Teori Korespondensi

Teori ini menguji kebenaran melalui kesesuaian fakta sebagai standar penilaian. Kebenaran sepenuhnya dari pembenaran realitas objektif. Kebenaran terjadi apabila ada kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian kebenaran epistemologi adalah keselarasan antara subjek dan objek. Pengetahuan dikatakan benar apabila di dalam keselarasannya yang intrinsik, intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa yang ada di dalam objek. Suatu pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realism. (Bakhtiar,A., 2016, hlm. 112)

Kelamahan teori ini: 1) bagaimana membandingkan ide dengan realitas, sementara ide hanya mengetahui pengalaman sendiri tidak menjangkau di luar pengalaman sendiri. 2) teori ini berasumsi bahwa indera itu jelas dan akurat. 3) Manusia hanya memiliki ide yang tidak konkret untuk diluar pemikiran manusia yang dapat dibandingkan. kebenaran berada pada objeknya, manusia bertugas mencari dan menukan kebenaran.

 

  1. Teori Koherensi/konsistensi

Teori Koherensi memandang keselarasan dari seluruh pernyataan yang diakui sebagai kebenaran. Kebenaran di tegakan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan lainnya yang telah diketahui dan diakui kebenarannya lebih dulu. Jadi suatu proposisi itu cenderung benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan) dengan proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh proposisi coherent dengan pengalaman kita. Kepastian mengenai kebenaran sekurang-kurang nya memiliki empat pengertian. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan atau dianggap salah (Bakhtiar,A., 2016, hlm.115).

Kelamahan teori ini adalah sistem pemikiran yang salah juga memiliki konsistensi seperti kebenaran sehingga tidak dapat membedakan kebenaran konsisten dengan kesalahan konsisten. kebenaran adalah sesuatu yang selalu sama terhadap suatu objek, sehingga validitasnya bergantung pada tanggapan masing-masing.

 

  1. Teori Pragmatisme

Teori ini dikembangkan oleh Williams James. Pragmatisme berasal dari bahasa yunani pragma artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, tindakan Teori Pragmatis menganggap bahwa kebenaran itu bergantung pada kegunaannya, kemungkinan dapat dilaksanakannya, atau konsekuensinya. Kebenaran adalah apa yang bekerja (fungsi). Benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendapatkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat. Menurut teori pragmatisme suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Jadi bagi para penganut pragmatis, ujian kebenaran ialah kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequence). Tidak ada kebenaran yang tetap atau mutlak (Bakhtiar A., 2016, hlm. 120). Kelemahannya adalah adanya kebenaran bagimu dan kebenaran bagiku. kebenaran adalah sesuatu yang berguna dapat dipraktikkan dalam kehidupan manusia.

 

  1. Epistemologi dalam beberapa aliran filsafat

Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup, memikirkan hal-hal yang baru. Manusia mengembangkan kebudayaan, memberi makna kepada kehidupan, manusia “memanusiakan diri dalam hidupnya”. Pada hakikatnya manusia dalam hidupnya memiliki tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar keberlangsungan hidupnya. Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada di luar akal. Maka dari itu ada beberapa ajaran dalam memperoleh pengetahuan.

 

  1. Idealisme (Plato),

Pengetahuan adalah proses psikologis yang bersifat subjektif. Pengetahuan hanya gambaran subjektif tentang realitas (kenyataan). Subjektif dipandang sebagai suatu yang diketahui dari orang yang membuat gambaran. Pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Idealisme memandang bahwa proses mengetahui terjadi dalam pikiran, manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir, intuisi, dan dengan mengingat kembali. Pengetahuan sudah ada dalam jiwa manusia sejak lahir. Manusia hanyalah keadaan dari apa yang dipikirkannya dan setiap rangsangan bersumber dari Tuhan. Mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Oleh karena itu, kebenaran hanya akan didapat oleh orang tertentu yang memiliki pemikiran baik dengan cara uji kebenaran melalui uji konsistensi/koherensi dari ide-ide yang disampaikan.

 

  1. Realisme (Aristoteles)

Ajaran realisme mempunyai pandangan realistis terhadap alam dan lingkungan. Pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya sesuai dari apa yang ada di alam nyata (dari fakta atau hakikat suatu kebenaran), pengetahuan yang ada di dalam akal sesuai dari yang asli yang ada di luar akal. Pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan. Pengetahuaan adalah hal-hal yang hanya terdapat di dalam akal dan dirinya sendiri serta yang hakikat kebenarannya tidak terpengaruh oleh seseorang. Seseorang bisa salah lihat pada benda-benda namun terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya (Bakhtiar,A., 2016, hlm. 94).

Manusia diibaratkan sebagai tabula rasa (kertas kosong putih yang belum ditulisi) yang maksudnya adalah saat dilahirkan manusia dalam keadaan kosong tidak membawa pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman indera dan manusia menggunakan pengetahuan dalam berpikir untuk menemukan objek yang tidak di persepsi. Karena realitas bersifat objektif maka ada orang yang mengetahui sebagai subjek dan realitas yang diketahui sebagai objek. Kebenaran bersifat material dan nyata sehingga kebenaran diuji sesuai dengan fakta melalui pengalaman indera atau teori uji korespondensi yakni kebenaran saat ini mungkin salah di masa yang akan datang sesuai pengalaman empiris yang didapat.

 

  1. Pragmatisme (John Dewey)

Pragmatisme mengungkapkan bahwa pengetahuan dan kebenaran mungkin berubah karena fenomena terus berubah sehingga kebenaran mempertimbangkan perubahan yang mungkin terjadi di masa mendatang. Pengetahuan hendaknya dapat diverifikasi dan diaplikasikan dalam kehidupan. Oleh karena itu, aliran ini memandang kebenaran pengetahuan adalah sesuatu yang dapat dipraktikkan (workability), memberikan hasil dan kepuasan (result and satisfaction). Pengetahuan akan bermakna apabila diaplikasikan.

 

  1. PEMBAHASAN
  2. Umum

Dialog Teoritis Konsep Epistemologi

Epistemologi mempersoalkan pengetahuan dan kebenaran pengetahuan sebagai bagian filsafat (Wiramihardja, S.A., 2009, hlm. 36). Pandangan lain yang diungkapkan oleh Sadulloh, U., (2007, hlm. 31) menjelaskan bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas atau mengkaji tentang asal, metode, dan keabsahan pengetahuan. Selanjutnya Ihsan, F. (2010, hlm. 17) mengungkapakan bahwa epistemologi merupakan objek kajian filsafat ilmu yang membahas cara dan prosedur memperoleh kebenaran. Dapat disimpulkan bahwa epistemologi merupakan bagian/cabang/objek kajian filsafat yang mengkaji tentang hakikat pengetahuan, sumber pengetahuan, cara memperoleh pengetahuan, metode dan cara memperoleh kebenaran pengetahuan.

Ilmu merupakan bagian pengetahuan yang memiliki persyaratan metodologis agar memiliki paradigma keilmuan yang diakui. Ilmu adalah aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu untuk memperoleh kumpulan pengetahuan yang sistematis (Ihsan, F., 2010, hlm. 110). Pengetahuan (Knowledge) membutuhkan kesadaran diri mengetahui cara yang ingin diketahuinya (Wiramihardja, 2009, hlm. 113). Seluruh masalah epistemologi berkisar pada kemungkinan manusia mencapai pengetahuan yang benar (Wiramihardja, 2009, hlm. 116). Ilmu pengetahuan (science) merupakan masalah yang dikaji dalam filsafat ilmu (philosophy of science) (Wiramihardja, 2009, hlm. 36). Pengetahuan menemukan kebenaran sampai merasa puas untuk menerima dengan yakin kenyataan sesuatu. Sedangkan ilmu (science) menelaah lebih lanjut kajian dalam pengetahuan (Ihsan, F., 2010, hlm. 135).

Manusia berusaha mencari pengetahuan dan kebenaran yang dapat diperoleh melalui beberapa sumber. (Sadulloh, U., 2007; Ihsan, F, 2010; Muhmidayeli, 2013) mengungkapkan 5 sumber pengetahuan dengan istilah yang sama yakni pengetahuan wahyu (revealed knowledge), pengetahuan intuitif (intuitive knowledge), pengetahuan rasional (rational knowledge) dalam buku Knight, G.R. (2007) disebutkan “akal pikir”, pengetahuan empiris (empirical knowledge) dalam buku Knight, G.R. (2007) disebutkan “panca indra”, dan pengetahuan otoritas (authoritative knowledge). Sedangkan Tafsir, A. (2013) dan Bakhtiar, A. (2016) menyebutkan sumber pengetahuan terdiri dari pengetahuan wahyu, intuitif, rasional, empiris, dan pengetahuan positivism. Oleh karena itu, sumber perolehan diperoleh melalui wahyu dari tuhan, intuisi yang secara tiba-tiba muncul dalam diri manusia saat menghayati sesuatu, melalui rasio atau akal pikir, berdasarkan bukti penginderaan atau pengalaman panca indra, otoritas ahli, serta gabungan pengalaman panca indra dan dibuktikan dengan pengamatan atau eksperimen.

Ilmu pengetahuan melibatkan enam komponen yaitu: masalah (problem) yang harus diuji; sikap (attitude) ingin tahu, usaha untuk memecahkan masalah, objektif, dan bijaksana; metode (method) scientific berkenaan dengan pengujian hipotesis; aktivitas (activity); kesimpulan (conclusion) sebagai pemahaman hasil pemecahan masalah melalui pembenaran sikap, metode, dan aktivitas; serta pengaruh (effect). Liang Gie (dalam Ihsan, F., 2010, hlm. 113) menjelaskan ciri ilmu pengetahuan adalah empiris (pengamatan), sistematis (tersusun), objektif yakni bebas dari prasangka, analitis atau rinci, dan verifikatif atau dapat diperiksa kebenarannya. 

Epistemologi mencari kebenaran pengetahuan, bagaimana sesuatu dikatakan benar atau salah dapat dikaji berdasarkan tiga teori kebenaran yang dijelaskan sama dalam bukunya (Sadulloh, U., 2007; Ihsan, F, 2010) yakni teori korespondensi (correspondence theory), teori koherensi (coherence theory), dan teori pragmatisme (pragmatism theory). Dapat disimpulkan bahwa untuk mengatakan suatu pengetahuan benar atau salah adalah bisa dipandang dari kesesuaian pikiran dengan fakta di lingkungan, kesesuaian/ketetapan/konsistensi pikiran tentang pengetahuan yang sudah dimiliki, serta berdasarkan kegunaan atau sifat fungsional pengetahuan dalam praktik kehidupan sebagai hasil yang memuaskan.

Manusia akan merasa puas jika memperoleh pengetahuan yang benar. Oleh karena itu manusia menempuh cara untuk memperoleh kebenaran itu melalui cara ilmiah dan non ilmiah (Ihsan, F, 2010, hlm. 136). Cara non ilmiah dapat dilakukan dengan mengunakan akal sehat, prasangka, intuisi, percobaan, dan otoritas. Sedangkan cara ilmiah dapat dilakukan melalui cara skeptic atau tidak langsung menerima tetapi berusaha menanyakan fakta dan buktinya, analitik atau penuh pertimbangan dalam menghadapi persoalan, kritis yaitu mengembangkan kemampuan menimbang setiap persoalan secara objektif.  

 

Posisi Epistemologi dalam Filsafat Ilmu

Epistemologi menjelaskan pengetahuan sebagai bagian filsafat, dalam konteks filsafat ilmu yang dipersoalkan adalah mengenai ilmu pengetahuan sehingga kebenarannya merupakan kebenaran ilmiah, teoritis, dan melibatkan validasi eksperimen. Filsafat ilmu menjelaskan ilmu pengetahuan yang tersusun ilmiah melalui eksperimen sehingga dapat diuji berulang dalam waktu yang berbeda. Epistemologi lebih menjelaskan hakikat berpikir yang tepat untu mengkaji suatu persoalan sampai menemukan kebenarannya (Wiramihardja, S.A., 2009, hlm. 36). Epistemologi menjadi dasar dalam memberikan legitimasi ilmu pengetahuan untuk diakui dalam disiplin ilmu dan keabsahan disiplin ilmu (Ihsan, F., 2010, hlm. 226).

Oleh karena itu, posisi epistemologi dalam filsafat ilmu adalah bagian/cabang dari filsafat yang menjelaskan kebenaran pengetahuan. Epistemologi bersesuaian dengan ilmu pengetahuan, namun epistemologi hanya uraian rasional sebuah konsep berpikir filosofis sedangkan ilmu pengetahuan melibatkan pembuktian kebenarannya. Filsafat ilmu didalamnya menjelaskan kebenaran ilmu pengetahuan yang lebih bersifat ilmiah. Setiap permasalahan dalam suatu disiplin ilmu harus dikaji secara filosofis yang salah satunya dikaji secara epistemologi mengenai pengetahuan suatu disiplin ilmu, sumber dan cara memperoleh pengetahuan disiplin ilmu tersebut, dan kebenaran dari disiplin ilmu yang dikaji.

Peran Epistemologi dalam Pendidikan

Pendidikan berlangsung di mana-mana dan dari generasi ke generasi. Pemikiran modern pendidikan lebih menekankan pendidikan sebagai proses perkembangan yang berfokus pada individu, bukan hanya proses pewarisan sosial budaya. Berawal dari pandangan ini, ilmu pendidikan muncul sebagai suatu sikap ilmiah dalam mengkaji objek formal dan objek material ilmu. Dengan kata lain, terdapat hubungan timbal balik antara perbuatan pendidikan, filsafat dan ilmu pendidikan yang harus menjadi pertimbangan utama dalam praktek pendidikan (Rasyidin dalam Natawidjaja dkk, 2007, hlm. 25)

Epistemologi dalam pendidikan berada pada dasar pemikiran dan aktivitas manusia. Epistemologi bersinggungan dengan pengetahuan sehingga merupakan determinan utama dalam praktik pendidikan. Epistemologi berkenaan dengan pengetahuan yang akan berpengaruh pada metodologi pengajaran dan fungsi guru dalam konteks edukatif (Knight, G.R., 2007, hlm. 45).

Pendidikan bertujuan untuk memperoleh kehidupan yang bermakna, harmonis, bahagia, mampu menghadapi tekanan, sehingga bisa menjadi individu yang lebih baik, membangun karakter dan mengembangkan bakat peserta didik, serta memiliki rasa persaudaraan yang tinggi melalui sikap pengertian, peduli, saling menyayangi. Pendidikan menciptakan suasana belajar yang memberikan kesempatan untuk siswa berpikir nilai moral dan kongkrit, berpikir logis, mengetahui masalah sosial dan moral, dan menerima nilai. Pendidikan membuat siswa berpikir dan menyesuaikan diri dalam perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan dilaksanakan untuk merekonstruksi pengalaman dalam masalah sosial di masyarakat untuk memperoleh suatu pemecahan sehingga siswa mampu bertahan hidup, memperoleh rasa aman dan bahagia sehingga dapat menyesuaikan diri dan memiliki tanggung jawab sosial (Syarifudin, T. & Kurniasih, 2014).

Pengetahuan dan pendidikan memiliki hubungan yang signifikan dimana sekolah sebagai lembaga yang memberi bimbingan, pengarahan, pembentukan kepribadian melalui transfer pengetahuan. Penting bagi pendidik untuk memahami epistemologi disiplin ilmu yang menjadi tugasnya. Pengetahuan dan pemikiran filosofis dalam pendidikan penting untuk pengembangan keilmuan, pengambilan keputusan akademik, rencana, strategi dan metode pembelajaran sesuai disiplin ilmu yang diajarkan (Muhmidayeli 2013, hlm. 78).

  1. Khusus

Analisis khusus menjelaskan pembahasan secara spesifik mengenai peran epistemologi dalam bimbingan dan konseling. Pembahasan dilakukan dengan mengkaji gabungan teori dalam praktik melalui penelitian-penelitian dalam bimbingan dan konseling.

No.

Aspek

Deskripsi

Simpulan

1

Petrus, J.P. & Sugiyo, I.T., (2012). Model Bimbingan Kelompok Berbasis Nilai-Nilai Budaya Hibua Lamo untuk Meningkatkan Kecerdasan Sosial Siswa. Jurnal Bimbingan dan Konseling, 1, (2), hlm. 95-100. ISSN: 2252-6889.

Penelitian mengenai kecerdasan sosial dari 5 artikel jurnal yang dikaji atau dianalisis disimpulkan:

1.      berada dalam setting pendidikan.

2.      partisipan penelitian adalah remaja.

3.      Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian banyak menggunakan pendekatan penelitian eksperimen,

 

 

a.    Sumber

Secara epistemologi sumber pengetahuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu pengetahuan otoritatif atau otoritas karena sumbernya adalah kajian teori dari berbagai sumber atau tulisan dan pendapat para ahli.

b.    Cara

Cara yang digunakan dalam penelitian adalah cara ilmiah melalui analitik untuk mendalami dan menganalisis persoalan dan kritis yaitu mempertimbangkan persoalan secara objektif.

c.    Metode

Metode dalam penelitian adalah metode ilmiah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif (campuran). Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis model bimbingan kelompok, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk menguji hipotesis dan mengukur perkembangan kecerdasan sosial.  

d.    Kebenaran

Untuk menguji kebenaran dari penelitian, peneliti menggunakan analisis statistika non parametrik, uji beda rata-rata. Jika ditinjau dari epistemologi kebenaran dikaji berdasarkan teori korespondensi untuk menyesuaikan teori dengan fakta, dan teori pragmatisme untuk melihat fungsi dalam praktik bimbingan dan konseling. Kebenaran ilmiah dalam epistemologi diuji melalui eksperimen.

2

Maulana, R. (2016).  Pengembangan Model Bimbingan Kelompok Berbasis Islami untuk Meningkatkan Kecerdasan Sosial Siswa SMK. Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling, 2, (1), hlm. 58-65. p-ISSN: 2443-2202 e-ISSN: 2477-2518

a.    Sumber

Secara epistemologi sumber pengetahuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu pengetahuan otoritatif atau otoritas karena sumbernya adalah kajian teori dari berbagai sumber atau tulisan dan pendapat para ahli.

Penelitian selanjutnya bisa direkomendasikan untuk dilakukan di setting pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar, sehingga bisa melihat bagaimana kondisi kecerdasan sosial sejak masih anak dan perubahan serta pengaruh kecerdasan sosial individu sejak sampai remaja

b.    Cara

Cara yang digunakan dalam penelitian adalah cara ilmiah melalui analitik untuk mendalami dan menganalisis persoalan dan kritis yaitu mempertimbangkan persoalan secara objektif.

c.    Metode

Metode dalam penelitian adalah metode ilmiah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif jenis eksperimental dengan desain pretest-postest control group design untuk menguji perbedaan pada dua kelompok eksperimen dan control.

d.    Kebenaran

Untuk menguji kebenaran dari penelitian ini, peneliti menggunakan analisis statistik non parametrik menggunakan Independen Sampel T Test untuk menguji hipotesis mengenai perbedaan hasil kelompok eksperimen dan kelompok control, antara skor pretest dan posttest. Jika ditinjau dari epistemologi kebenaran ini dikaji berdasarkan teori korespondensi untuk menyesuaikan teori dengan fakta, dan teori pragmatisme untuk melihat fungsi dalam praktik bimbingan dan konseling. Kebenaran ilmiah dalam epistemologi diuji melalui eksperimen.

3

Kusumawati, P.N. (2014). Pengembangan Model Bimbingan Kelompok Berbasis Cooperative Learning untuk Meningkatkan Kecerdasan Sosial Peserta Didik SMP di Kota Salatiga. Jurnal Bimbingan dan Konseling, 3, (2), hlm. 118-122. ISSN: 2252-6889.

a.    Sumber

Secara epistemologi sumber pengetahuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu pengetahuan otoritatif atau otoritas karena sumbernya adalah kajian teori dari berbagai sumber atau tulisan dan pendapat para ahli.

b.    Cara

Cara yang digunakan dalam penelitian adalah cara ilmiah melalui analitik untuk mendalami dan menganalisis persoalan dan kritis yaitu mempertimbangkan persoalan secara objektif.

c.    Metode

Metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah metode ilmiah dengan pendekatan kuantitatif desain experimental-one group pre-test post test design untuk menganalisis keefektifan model bimbingan kelompok Cooperative Learning dalam meningkatkan kecerdasan sosial.

d.    Kebenaran

Untuk menguji kebenarannya digunakan uji statistik t-test yang dinyatakan signifikan dalam meningkatkan kecerdasan sosial. Jika ditinjau dari epistemologi kebenaran ini dikaji berdasarkan teori korespondensi untuk menyesuaikan teori dengan fakta, dan teori pragmatisme untuk melihat fungsi dalam praktik bimbingan dan konseling. Kebenaran ilmiah dalam epistemologi diuji melalui eksperimen.

 

4

Soejanto, L.T. & Soekarman, F.I. (2015). Tingkat Kecerdasan Sosial Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang. Jurnal Konseling Indonesia, 1, (1), hlm. 18-28.

a.    Sumber

Secara epistemologi sumber pengetahuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu pengetahuan otoritatif atau otoritas karena sumbernya adalah kajian teori dari berbagai sumber atau tulisan dan pendapat para ahli.

b.    Cara

Cara yang digunakan dalam penelitian adalah cara ilmiah melalui analitik untuk mendalami dan menganalisis persoalan dan kritis yaitu mempertimbangkan persoalan secara objektif.

c.    Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ilmiah dengan pendekatan kuantitatif jenis penelitian deskriptif desain survai, dengan partisipannya adalah mahasiswa FKIP Universitas Kanjuruhan Malang angkatan 2011 yang berjumlah 830 mahasiswa.

d.    Kebenaran

Untuk menguji kebenaran hasil penelitian, peneliti menggunakan analisis statitistik dengan menghitung rata-rata dan persentase, melakukan Uji F untuk menguji hipotesis perbedaan tingkat kecerdasan sosial berdasarkan etnograsfi. Jika ditinjau dari epistemologi kebenaran ini dikaji berdasarkan teori korespondensi untuk menyesuaikan teori dengan fakta. Teori koherensi untuk menjelaskan keajegan dalam melihat pengaruh etnografi terhadap kecerdasan sosial. Kebenaran ilmiah dalam epistemologi diuji melalui eksperimen.

5

Irulloh, B.R.N. & Ukaegbu, H.M. (2015). Emotional, Social, Cognitive Intelligence and Social Support Network Among Youths. British Journal of Physical Research, 3, (2), hlm. 35-41.

 

a.    Sumber

Secara epistemologi sumber pengetahuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu pengetahuan otoritatif atau otoritas karena sumbernya adalah kajian teori dari berbagai sumber atau tulisan dan pendapat para ahli.

b.    Cara

Cara yang digunakan dalam penelitian adalah cara ilmiah melalui analitik untuk mendalami dan menganalisis persoalan dan kritis yaitu mempertimbangkan persoalan secara objektif.

c.    Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode ilmiah dengan pendekatan kuantitatif desain korelasional untuk menjelaskan besarnya hubungan antara kecerdasan emosi, sosial, dan kognitif dengan dukungan sosial pada remaja di Rivers state dengan partisipan sebanyak 107 remaja dari 856.

d.    Kebenaran

Untuk menguji kebenaran penelitian ini, penelitia menggunakan analisis data koefisien korelasi Product Moment Pearson dengan tingkat kepercayaan 0.05 dengan melihat besarnya pengaruh pada setiap aspek kecerdasan terhadap dukungan sosial. Jika ditinjau dari epistemologi kebenaran ini dikaji berdasarkan teori korespondensi untuk menyesuaikan teori dengan fakta. Kebenaran ilmiah dalam epistemologi diuji melalui eksperimen.

6.

Kadafi,A. & Pratama, B.D. (2016). Peningkatan Pemahaman Perilaku Prososial Melalui Layanan Informasi dengan Media Blog. Psikopedagogia UAD, 5,(2), hlm. 110-117. ISSN: 2301-6167, e-ISSN: 2528-7206

 

a.    Sumber

Secara epistemologi sumber pengetahuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu pengetahuan otoritatif atau otoritas karena sumbernya adalah kajian teori dari berbagai sumber atau tulisan dan pendapat para ahli.

 

b.    Cara

Cara yang digunakan dalam penelitian adalah cara analitik untuk mendalami dan menganalisis persoalan dan kritis yaitu mempertimbangkan persoalan secara objektif.

Penelitian tentang motivasi juga banyak dilakukan dalam setting pendidikan,

 

Penelitian banyak menggunakan pendekatan eksperimen.

 

Rekomendasi penelitian mengenai motivasi dapat dikembangkan dengan menyesuikan kondisi masyarakat saat ini misalnya dengan memanfaatkan pengaruh di era digital saat ini dengan motivasi individu.

c.    Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kuantitatif jenis penelitian eksperimen, dengan partisipannya adalah mahasiswa BK IKIP PGRI Madiun yang berjumlah 30 mahasiswa.

d.    Kebenaran

Untuk menguji kebenaran hasil penelitian, peneliti menggunakan analisis statitistik dengan menghitung persentase, melakukan Uji F untuk menguji hipotesis peningkatan pemahaman perilaku prososial setelah diberi intervensi melalui layanan informasi dengan media blog. Jika ditinjau dari epistemologi kebenaran ini dikaji berdasarkan teori korespondensi untuk menyesuaikan teori dengan fakta. Teori koherensi untuk menjelaskan keajegan dalam melihat pengaruh pemahaman perilaku sosial dengan diberikan layanan informasi dengan media blog.

7.

Anggara,G.S. (2016). Hubungan Kemenarikan Interpersonal konselor dan Motivasi Siswa SMA Negeri dalam Mengikuti Bimbingan Kelompok di Kota Malang. Psikopedagogia UAD, 5, (2), hlm. 118-128. ISSN: 2301-6167, e-ISSN: 2528-7206

a.    Sumber

Secara epistemologi sumber pengetahuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu pengetahuan otoritatif atau otoritas karena sumbernya adalah kajian teori dari berbagai sumber atau tulisan dan pendapat para ahli.

b.    Cara

Cara yang digunakan dalam penelitian adalah cara analitik untuk mendalami dan menganalisis persoalan dan kritis yaitu mempertimbangkan persoalan secara objektif.

c.    Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian deskriptif korelasional untuk menjelaskan besarnya hubungan antara kemenarikan interpersonal konselor dengan motivasi siswa dengan partisipan sebanyak 246.

 

d.    Kebenaran

Untuk menguji kebenaran penelitian ini, penelitian menggunakan teknik gabungan (multi stage cluster random sampling) karena populasi tersebar di berbagai wilayah geografis kecamatan di kota malang.

 

8.

Melani,R. (2016). Hubungan Religiusitas dan Kebahagiaan dengan Motivasi Belajar Santri Di MA Mu’Allimin Yogyakarta. Psikopedagogia UAD, 5, (2), hlm. 148-168. ISSN: 2301-6167, e-ISSN: 2528-7206

a.    Sumber

Secara epistemologi sumber pengetahuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu pengetahuan otoritatif atau otoritas karena sumbernya adalah kajian teori dari berbagai sumber atau tulisan dan pendapat para ahli.

b.    Cara

Cara yang digunakan dalam penelitian adalah cara analitik untuk mendalami dan menganalisis persoalan dan kritis yaitu mempertimbangkan persoalan secara objektif.

c.    Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian kuantitatif deskriptif korelasional untuk menjelaskan besarnya hubungan antara religiusitas dengan kebahagiaan motivasi belajar santri dengan partisipan sebanyak 110 siswa.

d.    Kebenaran

Untuk menguji kebenaran penelitian ini, penelitian menggunakan teknik gabungan (multi stage cluster random sampling) skala.

9.

Lianasari,D. & Purwanto,D. (2016). Model Bimbingan Kelompok dengan Teknik Brainstorming untuk Meningkatkan Komunikasi Interpersonal Siswa. Jurnal Bimbingan Konseling 5, (1), hlm. 1-7. p-ISSN 2252-6889 e-ISSN 2502-4450

a.    Sumber

Secara epistemologi sumber pengetahuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu pengetahuan otoritatif atau otoritas karena sumbernya adalah kajian teori dari berbagai sumber atau tulisan dan pendapat para ahli.

b.    Cara

Cara yang digunakan dalam penelitian adalah cara analitik untuk mendalami dan menganalisis persoalan dan kritis yaitu mempertimbangkan persoalan secara objektif.

 

 

c.    Metode

Metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah metode penelitian dan pengembangan (research and development) dengan tahapan studi evaluasi untuk mengetahui keterampilan komunikasi interpersonal siswa.

 

d.    Kebenaran

Untuk menguji kebenarannya digunakan uji validitas konstruk dan reliabilitas menggunakan alpa cronbach yang dinyatakan signifikan dalam meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal dengan teknik brainstorming. Jika ditinjau dari epistemologi kebenaran ini dikaji berdasarkan teori korespondensi untuk menyesuaikan teori dengan fakta, dan teori pragmatisme untuk melihat fungsi dalam praktik bimbingan dan konseling.

10.

Ridhani,A.R. & Sutoyo,A. (2016). Pengembangan Model Bimbingan Kelompok Berbasis Islam untuk Meningkatkan Perilaku Etik Berkomunikasi Siswa MTS Kota Banjarmasin. Jurnal Bimbingan Konseling 5(1), hlm. 55-64. p-ISSN 2252-6889 e-ISSN 2502-4450.

a.    Sumber

Secara epistemologi sumber pengetahuan yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu pengetahuan otoritatif atau otoritas karena sumbernya adalah kajian teori dari berbagai sumber atau tulisan dan pendapat para ahli.

b.    Cara

Cara yang digunakan dalam penelitian adalah cara analitik untuk menganalisis persoalan dan kritis untuk pertimbangan persoalan secara objektif.

c.    Metode

Metode yang digunakan adalah metode ilmiah dengan pendekatan kuantitatif desain experimental-one group pre-test post test design untuk menganalisis keefektifan model bimbingan kelompok bebasis Islam dalam meningkatkan perilaku etik berkomunikasi.

d.    Kebenaran

Untuk menguji kebenarannya digunakan uji statistik t-test yang dinyatakan signifikan dalam meningkatkan kecerdasan sosial. Jika ditinjau dari epistemologi kebenaran ini dikaji berdasarkan teori korespondensi untuk menyesuaikan teori dengan fakta, dan teori pragmatisme untuk melihat fungsi dalam praktik bimbingan dan konseling.

  1. SIMPULAN
  2. Umum

Epistemologi sebagai salah satu kajian filsafat yang mengkaji tentang hakikat pengetahuan, realitas dan kebenarannya. Pengetahuan diperoleh dengan berbagai cara yang memungkinkan adanya hubungan saling melengkapi dalam memperoleh pengetahuan baik itu melalui usaha maupun yang tanpa usaha seperti wahyu. Pengembangan pengetahuan selalu diarahkan pada pencapaian kebenaran, yang dapat dikaji melalui kesesuaian fakta (korespondensi), keselarasan (Koherensi), atau kebermanfaatannya. Epistemologi sebagai kajian filsafat secara umum menjadi dasar pemikiran atau landasan dalam praktik bimbingan dan konseling sebagai bagain integral dalam pendidikan. Pengetahuan sebagai determinan utama dalam pendidikan akan berpengaruh pada metode pengajaran khususnya bagi guru yang memfasilitasi proses edukatif.

 

  1. Khusus
  • Epistemologi adalah bagian ilmu filsafat yang mengkaji tentang hakikat pengetahuan, sumber pengetahuan, cara memperoleh pengetahuan, metode dan cara memperoleh kebenaran pengetahuan.
  • Pengetahuan diperoleh melalui pancaindra (empiris), akal pikir (rasional), wahyu, dan intuisi.
  • Kebenaran pengetahuan dapat diukur berdasarkan teori korespondensi, koherensi/konsistensi, dan pramatisme.
  • Filsafat memiliki beberapa aliran termasuk dalam makna pengetahuan, memiliki pandangan masing-masing yang diungkapkan menurut aliran filsafat idealisme, realisme, dan pragmatisme.

 

  1. IMPLIKASI
  2. Implikasi Teoritis Epistemologi dalam Bimbingan dan Konseling

Konseling menyangkut proses perkembangan manusia yang berlandaskan pada hakikat manusia. Isu filosofis dalam bimbingan dan konseling sebagai pemahaman, pengetahuan tentang cara pandang sosok konselor dalam membantu konseli (Kartadinata, S., 2005, hlm. 9). Penelitian-penelitian yang perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan kajian epistemologi atau pengetahuan tentang bimbingan dan konseling sebagai isu filosofis menyangkut aspek pribadi konselor, profesi konselor, hakikat manusia yang berkaitan dengan konsep pribadi konselor dan tujuan yang ingin dicapai dalam konteks filosofis karena pencapaian tujuan mengkaji metode, teknik yang digunakan yang secara filosofis ada dalam lingkup epistemologi sebagai cara dan metode untuk mengkaji pengetahuan dan kebenarannya. Posisi keilmuan dan fokus kajian bimbingan dan konseling menuntut pentingnya pengembangan kompetensi konselor.

Bimbingan dan konseling merupakan profesi yang bersifat dinamis untuk terus berusaha mengikuti perubahan kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan (Wangid,M.N., 2010, hlm.3). Perubahan pada konseli menuntut kepiawaian konselor untuk berperan sesuai dengan ciri kepribadian konseli, untuk membantu konseli berkembang mensyaratkan konselor memiliki keterampilan dalam rangka menciptakan dan memberikan lingkungan perubahan yang positif pada diri konseli (Wangid,M.N, 2010, hlm.6). Berkaitan dengan hal tersebut, layanan bimbingan dan konseling membutuhkan layanan mendasar yang tepat dan kuat. Layanan yang menempatkan manusia secara hakiki, didasari dengan pertanyaan mendasar yang mengungkap siapa individu, mengapa individu perlu dibantu dan bantuan apa yang harus diberikan. Pertanyaan tersebut menjadi hal yang esensial dalam mencapai kemandirian individu sebagai tujuan utama bimbingan dan konseling.

Peran epistemologi dalam bimbingan dan konseling pun sebelumnya menyebabkan adanya pergeseran dalam paradigma dan kerangka model layanan bimbingan dan konseling yang mana saat ini kerangka model yang diterapkan adalah layanan bimbingan dan konseling komprehensif (Sanyata, S., 2013, hlm.7). Paradigma ini tentunya tidak terlepas dari penemuan dan pengkajian ilmu pengetahuan dalam bimbingan dan konseling sehingga teori dan kajian bimbingan dan konseling sebagai upaya pedagogis sesuai dengan kondisi dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, tidak ada kemandegan, semakin maju melalui penelitian dan pengembangan.

Penelitian-penelitian dalam bimbingan dan konseling dikembangkan dengan tema, dan metode yang sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat saat ini. Revolusi digital yang terjadi saat ini menuntut penyesuaian bimbingan dan konseling dalam era digital melalui pengembangan penelitian berbasis digital/teknologi sebagai bentuk kemajuan yang tetap memerhatikan model BK yang komprehensif. Perubahan peradaban masyarakat terutama yang menyebabkan degradasi nilai moral, etika pada manusia menjadi tantangan bagi BK sehingga penelitian saat ini perlu menganalisis, mengkaji, atau menerapkan kegiatan layanan yang memuat nilai-nilai moral dan etika. Bimbingan dan konseling dewasa ini tidak lagi terbatas hanya kepada lingkungan pendidikan sekolah, melainkan juga dalam seting luar sekolah dan kemasyarakatan. Proses belajar sepanjang hayat dan sejagat hayat terjadi secara terpadu, menyangkut seluruh aspek kehidupan, terjadi keterpaduan antara belajar, hidup, dan bekerja yang satu sama lain tak dapat dipisahkan melainkan terjadi secara bersinergi (Supriatna,M., 2011, hlm. 3-4). Penelitian bimbingan dan konseling bisa dilakukan tidak hanya dalam setting sekolah untuk menambah kajian keilmuan bimbingan dan konseling sebagai upaya pedagogis.

 

  1. Implikasi Praktis Epistemologi dalam Bimbingan dan Konseling

Kajian filosofis menjadi salah satu dasar atau landasan dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Telaah filsafat dalam kaitannya dengan bimbingan dan konseling berasal dari hakikat manusia (konseli) agar dapat mengembangkan potensi dan mencapai tugas-tugas perkembangnnya. Konseli yang sedang dalam proses (becoming) memerlukan bimbingan agar memiliki pemahaman, wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, memiliki pengalaman untuk menentukan arah kehidupannya (Depdiknas, 2008, hlm. 192).

Sejalan dengan tujuan pendidikan bahwa secara epistemologi hakikat manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bahagia, nyaman, sejahtera dan menyenangkan, manusia mengembangkan dan mempertahankan kebahagiaan dalam menjalani tugas-tugas kehidupan dalam aspek spiritual, pengaturan diri, bekerja, persahabatan, dan cinta (Yusuf & Nurihsan, 2011). Hakikat tersebut merupakan hasil berpikir yang terkait dalam perumusan tujuan bimbingan dan konseling serta cara pandang konselor terhadap konseli. Oleh karena itu, pemikiran utama dari filsafat bimbingan dan konseling bersumber dari filsafat manusia.

Proses konseling merupakan proses yang berpijak dan bergerak ke arah yang selalu mengandung persoalan filosofis. Praktik layanan bimbingan dan konseling tidak terlepas dari hakikat konseli sebagai manusia, sehingga dalam praktinya konselor bergantung cara pandang konselor terhadap konseli yang dapat terefleksikan dalam proses bimbingan dan konseling kepada konseli yang dilayani. Pandangan filosofis berkaitan dengan pendekatan konseling yang berdampak pada adanya beberapa pendekatan konseling dan melalui kajian epistemologi pendekatan konseling sebagai teknik yang diterapkan oleh konselor untuk mencapai tujuan dari konseling yang dilaksanakan. Pengetahuan mengenai konsep pendekatan konseling akan membedakan konselor dalam gaya terapi, hubungan terapeutik, dan pemilihan intevensi (Saferstein, J.A., 2006, hlm. 10). Isu-isu filosofis yang dikaji melalui epistemologi dan ontologi mengenai perspektif psikologis yang berimplikasi pada praktik konseling (Cottone, R.R., 1988 hlm. 363).

Layanan bimbingan dan konseling membutuhkan layanan mendasar yang tepat dan kuat. Layanan yang menempatkan manusia secara hakiki, didasari dengan pertanyaan mendasar yang mengungkap siapa individu, mengapa individu perlu dibantu dan bantuan apa yang harus diberikan. Sejalan dengan pendapat dari Sunaryo Kartadinata (2007, hlm. 2), kajian bimbingan dan konseling terfokus pada pengembangan individu untuk mewujudkan keberfungsian diri dalam lingkungan dan membantu individu berkembang secara efektif.

Oleh karena itu, pengetahuan dalam kaitannya dengan praktik bimbingan dan konseling mengharuskan layanan bimbingan dan konseling sesuai dengan hakikat manusia dan perkembangan individu sehingga guru BK harus melakukan penilaian kebutuhan dan capaian tugas perkembangan peserta didik sebelum memberikan layanan bimbingan dan konseling. Selain itu, hubungan konselor dan konseli dalam layanan mengharuskan konselor memiliki pemahaman keilmuan berdasarkan pengetahuan dari para ahli, seperti pengetahuan tentang teori kepribadian, teori perkembangan, pemahaman sosial, budaya, nilai, pengetahuan pendekatan konseling. Melalui pengetahuan tersebut konselor dapat memberikan layanan bimbingan dan konseling menggunakan teknik dan metode yang tepat sesuai keadaan konseli sehingga memperoleh ketepatan dalam pemberian layanan yang sesuai dengan kebutuhan konselinya serta tujuan pemberian layanan dapat tercapai.

 

GLOSARIUM

A

Absolut                   pasti, mutlak, tidak diragukan lagi

Absurd                   tidak masuk akal, mustahil

Aktual                     keadaan yang benar-benar ada atau terjadi

 

D

Doktrin                   ajaran suatu aliran dari ahli secara sistematis

 

E

Eksperimen            percobaan yang sistematis dan terencana untuk membuktikan kebenaran suatu teori, pengetahuan.

Empiris                  sumber pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman indra.

Epistemologi          cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat pengetahuan, sumber pengetahuan, cara memperoleh pengetahuan, metode dan cara memperoleh kebenaran pengetahuan.

 

F

Fenomena              fakta, kenyataan yang dapat disaksikan oleh indra, dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah.

Filsafat                   upaya berpikir kritis, sunguh-sungguh, melalui sistem dan cara yang logis, sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dalam mencari dan memahami realitas yang mendalam dan menyuluruh menuju kebenaran kesimpulan yang komprehensif.

Filsafat Ilmu          landasan keilmuan yang kritis hasil dari berpikir ilmiah berupa pengetahuan untuk mendapatkan hakikat kebenaran sesuatu dan menyadari kebenaran yang relatif.

Fungsional             sifat pengetahuan dilihat dari segi fungsinya dalam suatu komponen sistem secara menyeluruh.

 

H

Hipotesis                anggapan dasar mengenai sesuatu yang dianggap benar untuk mengungkapkan alasan atau pendapat dan masih harus dibuktikan kebenarannya.

 

I

Idealisme                aliran filsafat yang menjelaskan epistemologi sebagai proses psikologis yang bersifat subjektif tentang kenyataan yang sudah dimiliki manusia sejak lahir

Ilmiah                     memenuhi syarat atau kaidah ilmu pengetahuan

Ilmu                        aktivitas manusia sebagai bagian pengetahuan yang memiliki persyaratan metodologis agar memperoleh kumpulan pengetahuan yang sistematis dan paradigma keilmuan yang diakui.

Ilmu Pengetahuan  upaya manusia dalam suatu sistem untuk memperoleh pengetahuan dengan berdasarkan pada proses ilmiah atau metode untuk mengatur pengetahuan melalui penelitian.

Inspirasi                 proses mendorong atau merangsang pikiran untuk melakukan suatu tindakan yang kreatif.

Intrinsik                  unsur yang terkadung dari dalam

Integritas                keadaan yang menggambarkan adanya kesatuan yang utuh

Interpretasi             proses penafsiran atau pemberian pendapat/ pandangan

Intuisi                     sumber pengetahuan yang diperoleh melalui keyakinan untuk memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari, melalui bisikan hati atau gerak hati.

K

Kompeten               keterampilan seseorang pada bidangnya

Konsistensi             teori kebenaran pengetahuan yang menyatakan adanya pandangan yang sama mengenai suatu objek.

Kontradiksi            pertentangan antara dua hal yg sangat berlawanan atau bertentangan

Korespondensi       teori kebenaran pengetahuan yang menyatakan kebenaran pada objek yang harus ditemukan manusia.

Kritis                      cara berpikir filsafat untuk menilai secara keseluruhan realitas suatu objek.

 

L

Legitimasi              keterangan yang mengesahkan atau membenarkan suatu  keterangan secara betul-betul menurut undang-undang.

Logika                    pengetahuan tentang kaidah berpikir atau cara berpikir yang masuk akal

Logis                      cara berpikir filsafat yang rasional mengikuti pola dan alur pikir yang terkontrol sehingga bisa dipertanggungjawabkan.

 

M

Mandeg                  terhenti, menemukan jalan buntu

Metodologi             ilmu tentang cara mengerjakan atau melaksanakan sesuatu yang secara sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

 

O

Objektif                  keadaan yg sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi

Observasi               perolehan pengetahuan melalui pengamatan berdasarkan fakta dan keadaan yang actual.

Otoritas                  sumber perolehan pengetahuan berdasarkan kekuasaan atau wewenang dari ahli dalam suatu objek kajian.

 

P

Paradigma             kerangka berpikir dalam teori ilmu pengetahuan

Pengetahuan          bukti nyata realitas manusia dalam mengisi kehidupannya

Persepsi                 proses penyusunan, pemahaman, dan penafsiran untuk memberikan tanggapan tentang sesuatu.

Pragmatisme          teori kebenaran yang menyatakan bahwa kebenaran suatu pengetahuan bergantung pada nilai guna/kegunaan suatu pemikiran dalam kehidupan.

Prasangka              pendapat atau tanggapan yang kurang baik mengenai sesuatu tanpa pengetahuan dan alasan yang cukup.

Proposisi                rancangan usulan suatu ungkapan

 

R

Rasional                 berdasarkan pemikiran yang logis dan masuk akal.

Realisme                aliran filsafat yang menjelaskan epistemologi sebagai gambaran yang sebenarnya mengenai kenyataan dan hanya ada dalam akal serta diri manusia.

Realitas                  kenyataan

Reflektif                  cara berpikir yang spontan, di luar kemauan.

Relatif                     kebenaran yang tidak mutlak.

 

S

Sistematis               cara berpikir filsafat yang memiliki pola dan alur berpikir metodologis beruntun dan saling berkaitan.

Skeptik                    cara memperoleh pengetahuan ilmiah yang tidak langsung menerima tetapi berusaha menanyakan fakta dan buktinya.

Subjektif                 cara berpikir yang berdasarkan pandangan sendiri.

 

U

Universal               sifat pengetahuan yang menyeluruh berlaku untuk semua

 

V

 

Valid                      ketepatan atau kesahihan suatu pengetahuan yang diperoleh

Verifikatif               menguji suatu teori atau hasil penelitian sebelumnya untuk menghasilkan penguatan atau penolakan suatu teori atau hasil penelitian sebelumnya.

 

REFERENSI

Ahmad, T. (2013). Filsafat Umum. Bandung: Rosda Karya

Amsal, B. (2016). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.

Cottone, R.R. (1988). Epistemological and Ontological Issues in Counseling: implications of social systems theory. Counselling Psychology Quarterly,1,(4), hlm. 357-363. DOI: http://dx.doi.org/10.1080/09515078808254221

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jaur Pendidikan Formal. Jakarta: Depdiknas.

Ihsan, F. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.

Jalaludin. (2014). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rajawali Pers.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline

Kartadinata,S. (2007). Jurnal Landasan dan Teori Bimbingan dan Konseling. upi.edu

Kartadinata, S. (2005). Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi Historik, Futuristik.

Knight, G.R. (2007). Filsafat Pendidikan (Terjemahan). Yogyakarta: Gama Media.

Muhmidayeli. (2013). Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

Natawidjadja, R., dkk. (2007). Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung : UPI Press.

Saferstein, J.A. (2006). The Relationship Between Therapists’ Epistemology and Their Therapy Style, Working Alliance, and Use of Specific Interventions. (Disertasi). Department Psychology, University of Florida, Florida. 

Sanyata, S. (2013). Paradigma Bimbingan dan Konseling: Pergeseran Orientasi dari Terapeutik-Klinis ke Preventif-Perkembangan. Jurnal Paradigma, 15,(8), hlm. 1-9. ISSN 1907-297X

Siswoyo, D. (2008). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Sukmadinata. (2007). Rujukan Filsafat, Teori, dan Praksis. Bandung: UPI Press.

Supriatna, M. (2011). Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi. Bandung: Raja Grafindo Persada.

Suryasumantri, J.S. (1984). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.

Susanto, A. (2016). Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.

Syarifudin, T. & Kurniasih. (2014). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu.

Sadulloh, U. (2007). Filsafat Pendidikan. Bandung: Cipta Utama.

Sadulloh, U. (2017). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Wangid, M.N. (2010). Perubahan Paradigma Bimbingan dan Konseling.

Wangid, M.N. (2012). Peran Konselor dalam Pendidikan Karakter.  

Wiramihardja, S. (2009). Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama.

Yusuf, S. & Nurihsan, J. (2011). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung:Remaja Rosdakarya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Files