Invisible string

{Cerpen fantasi, keluarga.} Katanya, seutas benang merah bisa menjadi penghubung takdir setiap orang. Dan Yuan adalah anak ajaib yang bisa melihat benang merah itu.

Invisible string

Apa kalian tahu tentang mitos benang merah tak kasat mata yang terikat di setiap jari orang yang saling di takdirkan untuk bersama? Mungkin, beberapa orang menganggap itu hanyalah mitos belaka, namun nyatanya, aku mempunyai kemampuan melihat benang kasat mata itu dengan jelas. 

Namaku Yuan, umurku 10 tahun, aku hidup di dalam keluarga yang hangat walaupun kami hanya keluarga sementara karena hidup di panti asuhan. Melihat benang merah terkait satu sama lain sudah menjadi pemandangan setiap hariku di panti asuhan, setiap ada orang yang akan mengadopsi, aku selalu melihat benang itu terikat di jari si pengadopsi dan salah satu anak panti yang beruntung di adopsi. Namun, setelah bertahun-tahun lamanya, tidak ada satupun benang yang terikat padaku. Terkadang, aku cemburu melihat semua orang memiliki benang merahnya masing-masing, mereka akhirnya mempunyai keluarga baru, aku sempat berpikir kalau aku memang sudah di takdirkan hidup di sini. Tapi, akankah benang itu terikat di jariku suatu saat nanti?

Hari itu, aku ingat sekali bagaimana derasnya hujan mengguyur kota, teman-temanku berkoar-koar tentang kedatangan seseorang yang akan mengadopsi kami. Aku tidak peduli, yang aku pedulikan hanyalah suara petir yang menggelegar sampai aku menutup telingaku. Ah, aku sangat benci dengan suara petir. 

"Yuan! Ayo bersiap-siap! Sebentar lagi akan ada seseorang yang mengadopsi, jika kau ingin di bawa maka kau harus terlihat tampan dulu!" Kak Sean, temanku itu memang sedikit cerewet, ia menarik-narik tanganku ke arah ruang ganti baju, sedangkan aku sibuk menutup telingaku "Bentar kak sean! Aku takut petir!"

Namun pada akhirnya, aku tetap saja berhasil di ajak oleh Kak Sean untuk berganti pakaian. Pakaian yang lebih layak kita kenakan untuk menarik orang yang akan mengadopsi, dan tentunya hal ini sudah sering di lakukan oleh kami, seperti sudah menjadi bagian dari jadwal kami selama berada di panti asuhan.

Anak-anak yang sudah selesai langsung berkumpul di ruang tengah, tempat di mana kami di bariskan untuk bertemu si pengadopsi. 

"Katanya, yang akan mengadopsi kali ini berbeda, lho..." 

Aku membulatkan mataku, merasa tertarik dengan topik yang Kak Sean bawa "Oh ya?" 

Belum juga Kak Sean menjelaskan, tiba-tiba saja, suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah sini, aku melihat bayangan dua orang yang sedang jalan berdampingan. Sepertinya itu adalah Bu Nata, pengurus panti. Dan juga si pengadopsi.

Tapi ada yang aneh, biasanya, ketika seseorang datang untuk mengadopsi, aku selalu melihat benang merah yang sudah membentang walaupun jaraknya masih bermeter-meter jauhnya. Namun kali ini, bahkan aku menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas, Kak Sean yang berada di pinggirku sampai menatapku dengan tatapan yang aneh, lalu ia menggelengkan kepalanya.

"Selamat siang anak-anak!"

Suara Bu Nata memecahkan suasana, anak-anak panti yang tadinya ricuh menjadi hening. Bu Nata tentu tidak datang sendirian, di sampingnya, ada seorang pria dengan tatto yang begitu banyak di lengannya serta rambut yang gondrong, perawakannya seperti preman-preman yang selalu aku lihat ketika ikut dengan Bu Nata ke pasar. Aku tentu terkejut melihat itu. 'Apa ini yang akan mengadopsi kami? Seram sekali.' pikirku.

"Anak-anak! Kalian tahu, kan, kalau hari ini akan ada yang mengadopsi kalian lagi?" 

"Iyaa!" 

"Kenalkan, yang sedang bersama Ibu ini adalah Om Abimanyu sajiwa, beliau sudah lama sekali ingin mengadopsi anak dari panti tapi baru tercapai sekarang. Ayo sapa Om Jiwanya,"

Sebenarnya, semua anak panti merasa ketakutan ketika melihat Om Jiwa, aku bahkan bisa melihat keringat yang mengucur dari kening Kak Sean. Di ujung sana, wajah Chelyn, teman sekamarku, dia terlihat terdiam seribu bahasa. Melihat Bu Nata melotot saja ia takut, apalagi melihat tampang Om jiwa yang seperti preman ini.

"Loh kenapa kalian diam saja? Ayo sapa Om jiwanya," 

Dengan kompak, kami menyapa dengan nada yang terdengar kecil. Anehnya, aku melihat Om Jiwa tersenyum ketika mendengar sapaan canggung dari kami.

Setelahnya, Bu Nata berdiskusi dengan Om jiwa, mereka berbisik-bisik sambil melihat kami bergantian. Sesekali aku mengalihkan pandanganku karena takut berkontak mata dengannya. 

"Yuan, Selamat! Kau mendapatkan keluarga baru!" Kata yang keluar dari Bu Nata cukup membuat jantungku copot. Apa katanya? Mendapat keluarga baru? Aku bahkan tidak melihat benang merah terikat di jariku. Dengan panik, aku menatap jari-jariku satu persatu, mencari di mana letak benang merah itu, tapi nihil, aku tidak melihat benang itu sama sekali. 

"Yuan, kau kenapa? Harusnya kau senang, Om Jiwa ini orang yang baik, ayo berkemas, dia ingin kamu menjadi anaknya." 

Menjadi anaknya? Tidak, bukan ini yang aku inginkan, aku memang selalu berdoa untuk mendapatkan keluarga baru, tapi melihat perawakan Om Jiwa membuatku tidak yakin, terlebih lagi, aku tidak melihat benang merah yang terikat di antara aku dan Om Jiwa. Tapi bagaimanapun, aku harus ikut dengan Om Jiwa karena telah di pilih.

Mata Kak Sean berkaca-kaca ketika melihatku mengemasi barang-barang, suaranya terdengar begitu lirih. Akupun merasa sedih karena harus berpisah dengan Kak Sean, karena kami sudah bersama sejak bayi di panti asuhan. 

Kedua tangannya memegang pundakku, mata yang berkaca-kaca itu menatapku dengan tatapan yang menyedihkan, hidungnya merah, dadanya naik turun karena isakan yang ia tahan "Jangan lupakan aku, ya? Aku berharap kau bahagia bersama Om bertato itu, jika dia macam-macam denganmu pukul saja dia, oke?" 

Aku mengangguk, "Iya, Kak." Tidak tahan melihat Kak Sean, aku segera menuntun badannya untuk mendekapku, aku peluk ia dengan erat sebelum kami benar-benar berpisah.

Semuanya berjalan dengan cepat, berkas-berkas pribadiku sudah di urus oleh Om Jiwa, aku lantas menaiki mobil putih yang di miliki Om Jiwa, lalu melambaikan tangan pada teman-temanku di panti dengan cairan bening yang masih mengalir dari mataku.

Aku duduk di sebelah Om Jiwa dengan jantung yang berdebar, wajah Om Jiwa sama sekali tidak mengeluarkan ekspresi, membuatku semakin takut di dekatnya. Selama perjalanan, aku masih berpikir tentang mengapa tidak ada benang merah yang terikat antara jariku dan jari Om jiwa, ini pertama kalinya aku mengalami kejadian aneh, padahal aku yakin jika kemampuan melihatku sangatlah kuat

. . .

Sudah seminggu semenjak aku tinggal dengan Om Jiwa, tidak banyak yang kami lakukan, aku juga belum merasa dekat dengannnya, sebab ia ada di rumah hanya waktu malam saja karena bekerja. Di hari libur pun, aku hanya menghabiskan waktuku untuk menonton kartun di televisi. Walaupun Om Jiwa selalu menatapku dengan dingin, tapi perilakunya sangat baik kepadaku, memberikanku makan, menempatkanku di kamar yang bagus, dan juga mendaftarkanku ke sekolah baru. Aku jadi bingung di buatnya, dan perasaan takut membuatku canggung padanya, di mataku, ia masihlah sosok preman yang pura-pura baik. 

Ya, ia seperti rubah licik di film kartun! Maka dari itu, aku berusaha membuat jarak dengannya. Aku juga masih menyebutnya dengan sebutan 'Om' karena belum terbiasa, untungnya Om Jiwa tidak keberatan dengan itu. 

Tapi malam ini ada yang berbeda, jam menunjukkan pukul delapan malam, Om Jiwa sama sekali belum pulang ke rumah. Sesekali aku berjinjit ke arah jendela hanya untuk mengecek keadaan di luar, biasanya, sebelum jam delapan, mobil putih milih Om Jiwa sudah terparkir di depan rumah, namun kali ini, halaman rumah terlihat begitu sepi. Apalagi hujan turun dengan lebatnya, membuat suasana semakin menyeramkan bagiku, perasaanku mulai tidak karuan melihat langit yang beberapa kali mengeluarkan kilat. 

Kakiku mundur perlahan, aku mulai menutup telingaku dengan kedua tangan. Dengan segera, aku menutup jendela rapat-rapat lalu berlari ke arah sofa, aku meringkuk karena ketakutan, suara gemuruh mulai menggelegar dengan kencangnya, aku bisa merasakan kaca bergetar karena guntur. 

Tak lama, lampu nerkedip dengan sendirinya, sedetik kemudian, lampu padam seluruhnya. Netraku tidak bisa melihat dengan jelas, aku memeluk diriku sendiri di sofa, lalu ku penjamkan mataku dengan erat berharap ada yang datang menemani. 

JLAR!

Suara yang ku benci itu berhasil membuatku berteriak, tak sadar, cairan bening yang turun dari mataku sudah sama derasnya dengan derasnya hujan di luar sana. Aku tidak tahan, ketakutan ini seakan-akan menggerogoti seluruh tubuhku, aku berteriak sekencang mungkin, meluapkan semua ketakutan yang ku rasakan. 

Sepertinya, teriakan itu menghasilkan sebuah keajaiban, detik itu juga aku merasakan badanku di dekap dengan erat oleh seseorang, terulurnya sebuah elusan di kepala, layaknya superman, tangisanku seketika pecah ketika melihat kalau Om Jiwalah yang sedang memelukku saat ini.

"Kau tidak apa-apa, Nak? Maaf ya, Om pulang telat karena macet di jalan.. jangan menangis, ada Om di sini, kau akan aman." Tangan besarnya terus mengelus-ngelus kepalaku tak henti, sedangkan aku menghabiskan seluruh ketakutanku di dekapannya. 

Suaraku tak sanggup keluar karena isakan yang tak henti, tanpa sadar, aku membalas pelukan Om Jiwa. Rasanya aman, aku belum pernah di perlakukan seperti ini sebelumnya, Kak Sean juga biasanya tak langsung memelukku ketika melihatku ketakutan karena petir.

Om Jiwa lantas mengangkat wajahku untuk menatapnya, tatapan itu, tatapan seorang Ayah yang belum pernah aku rasakan, aku melihat begitu banyak ke khawatiran dari sana.

"Seharusnya Om lebih memperhatikanmu, ya? Sudah jangan menangis, Om janji setelah ini pasti lampu akan segera nyala, bagaimana kalau kita main sesuatu agar kau tidak takut lagi?" Tersenyum, baru kali ini aku melihat Om Jiwa tersenyum kepadaku. Bukan hanya itu, jari-jarinya juga mengusap air mata yang keluar dari mataku.

"Maaf aku membuatmu khawatir.." lirihku

"Tidak apa-apa! Seharusnya Om memang mengkhawatirkan mu bukan? Om kan, ingin menjadi ayah yang baik! Oh iya, Om juga baru saja membelikanmu donat, ah... sepertinya sudah dingin karena jalanan macet tadi," 

Aku mengangkat kepalaku ketika mendengar kata donat keluar dari mulutnya, itu adalah makanan kesukaanku "Donat?"

"Iya, kau suka, kan? Sebentar ya, Om ambil dulu donatnya, tadi sangat buru-buru masuk ke rumah karena teriakanmu, Om jadi lupa kalau ada donat yang Om bawa hehe,"

Luntur sudah tampang premannya, malam itu, aku di tenangkan oleh Om Jiwa, tidak ada lagi suara petir, tidak ada lagi kegelapan karena mati lampu. Aku bersyukur Om Jiwa datang di waktu yang tepat. Dia jadi sering berbicara denganku, bertanya tentang ketakutanku terhadap petir, bertanya tentang bagaimana keadaanku di sekolah dan juga berbicara mengenai kehidupanku di panti dulu. 

Yang ku anggap rubah ternyata kelinci. Aku salah menilai Om Jiwa, perawakannya memang seperti preman-preman kelas atas, namun hatinya begitu lembut seperti seorang guru TK yang selalu mengasihani muridnya.

"Papa? Bolehkah aku memanggilmu Papa?"

Om jiwa terlihat terkejut mendengar kata-kataku, ia tutupi senyumannya dengan tangan. "Apa katamu? Coba sebutkan lagi?" 

"Papa Jiwa, aku ingin punya Ayah sepertimu." Sebenarnya aku sedikit malu untuk mengatakannya, namun setelah aku merasakan kalau Om Jiwa tulus kepadaku, aku jadi ingin menjadi anaknya. Anak sebenarnya. Bukan hanya anak sambung atau anak angkat.

"Tentu saja kau bisa memanggilku dengan itu, Nak! Sudah lama aku menunggumu ingin memanggilku Papa." Senyuman sudah tidak bisa lagi di tahan oleh Papa Jiwa 

"Papa Jiwaaaaaa," panggilku dengan cekekehan.

"Panggil Papa terus ya, nanti Papa beri kau uang jajan tambahan!" Papa Jiwa mendekat lalu menggelitikku, sedangkan aku tertawa lepas karenanya.

Tuhan sepertinya memiliki rencana sendiri untuk ini, maka dari itu tiba-tiba, seutas benang merah terikat dengan jariku dan jari Papa Jiwa, aku terlonjak kaget melihatnya, rasa senang ini sudah tidak bisa di bendung lagi, ternyata takdir benar adanya, Papa Jiwa memang sudah di takdirkan menjadi Ayahku.

Setelah kejadian malam itu, aku menjadi lebih dekat dengan Papa Jiwa, terkadanga, setiap akan berangkat sekolah pasti aku selalu menatap jariku yang terikat dengan seutas benang merah yang terhubung dengan Papa Jiwa, aku merasa bangga memiliki Ayah seperti Papa Jiwa. Dia selalu membuatkanku masakan enak, dia selalu memelukku ketika hujan, dia selalu mengajariku PR yang sulit, dia selalu mengajakku jalan-jalan, dia ... Selalu menjadi sosok Ayah bagiku yang belum pernah memiliki Ayah. 

Menurutku, rumah bukan hanya berbentuk sebuah bangunan dengan pondasi di setiap sisinya, namun, bisa juga berbentuk seorang insan yang selalu memelukku kala senang, sedih, sakit, dan sehat. Dan Papa jiwa adalah bentuk rumah itu sendiri, dia selalu melindungiku apapun keadaannya, walaupun dia berdiri sendiri, tapi pondasinya sekuat rumah-rumah lainnya. 

                                     . . .

 

2 tahun kemudian

Namaku Yuan Abimanyu, umurku 12 tahun, aku hidup dengan laki-laki hebat bernama Abimanyu Sajiwa, hidup di dalam keluarga yang terlampau hangat adalah hal yang paling ku syukuri walau kami tidak terikat hubungan darah. Sekali lagi, aku memiliki kemampuan melihat benang takdir semua orang, maka kali ini, hari dimana Papa Jiwa memutuskan untuk menikahi seorang perempuan cantik, aku melihat seutas benang merah yang mengikat keduanya, benang itu kemudian terhubung kepadaku.

Aku bahagia karena keluargaku bertambah satu insan, dengan itu, sesuatu yang ku sebut rumah menjadi lebih sempurna.